Panggilan untuk Mereka yang Beriman
Allah swt memanggil pada permulaan ayat di atas: yaa ayyuhalladziina aamanuu (hai orang-orang yang beriman), ini bukan sebarang panggilan, sebab yang memanggil adalah Allah swt. Sang Pencipta alam semesta. Semua makhluk bergantung kepada-Nya. Tidak ada yang mampu hidup tanpa keizinan dari-Nya. Maka siapa yang mengaku diri sebagai hamba-Nya hendaknya segera bergerak memenuhi panggilan ini. Allah swt dalam panggilan tersebut tidak menyebutkan kriteria yang bersifat duniawi, dengan kata lain Allah tidak berfirman: yaa ayyuhal aghniyaa’ (hai orang-orang yang kaya), hai orang-orang yang berkedudukan tinggi dan lain sebagainya, melainkan yang Allah swt panggil adalah mereka yang beriman saja, mengapa?
Di sini ada rahsia yang tersimpan, di antaranya:
(a) Bahawa dengan menyatakan keimanannya seseorang mempunyai posisi tersendiri dari sisi Allah swt. Allah swt sangat bangga dengan hamba-Nya yang beriman. Kerananya Allah swt mengundang mereka secara khusus. Di dalam Al-Qur’an undangan yaa ayyuhal ladziina aamanuu selalu Allah swt ulang. Menggambarkan betapa yang Allah swt anggap sebagai hamba-Nya hanya mereka yang beriman. Yang tidak beriman tidak termasuk sebagai hamba-Nya.
(b) Bahawa posisi keduniaan apapun megahnya bila tidak disertai iman, Allah swt tidak bangga dengannya. Bahkan Allah swt sangat benci kepada seseorang yang setelah diberi kenikmatan dunia, ia malah berbuat maksiat kepada-Nya. Ingat Allah swt berfirman:
”Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata, “Tuhanku Telah memuliakanku”.
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya Maka dia berkata, “Tuhanku menghinakanku”. (Al-Fajr:15-16)
Disini nampak bahawa ukuran kejayaan dan kualiti seseorang bukan terletak pada kekayaan atau kemiskinannya, memiliki Ijazah atau SPM, melainkan terletak pada keimanannya. Kerananya yang Allah swt panggil pada ayat di atas adalah mereka yang beriman. Sebab kaya dan miskin di mata Allah swt adalah ujian. Apalah erti seorang kaya jika ia tidak beriman dan mentaati Allah swt, semua itu hanya kesia-siaan. Sebaliknya sungguh sangat mulia seseorang sekalipun dalam posisi yang sangat miskin tetapi ia beriman dan mentaati-Nya, dan ia akan tergolong mereka yang Allah swt panggil dalam ayat di atas.
(c) Bahawa untuk melaksanakan ibadah puasa syaratnya harus beriman terlebih dahulu. Tanpa iman ibadah puasa seseorang tidak diterima oleh Allah swt. Allah swt hanya mengakui ibadah puasa hamba-Nya yang beriman. Kerananya dalam banyak hadits Rasulullah saw. Selalu menyebutkan kata iimaanan wahtisaaban, untuk menunjukkan bahawa ibadah yang Allah swt terima adalah berdasarkan iman dan harapan atas redha-Nya.
Semaklah beberapa hadits berikut, ”Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan akan redha-Nya, Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah lampau.” (HR. Bukharai dan Muslim)
Dalam hadits lain, ”Siapa yang menegakkan solat malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan akan redha-Nya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau.” HR. Muslim.
Lalu khusus mengenai solat pada malam lailatul qadar Rasulullah saw bersabda: ”Siapa yang menegakkan solat malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan harapan akan redha-Nya, Alllah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan Iman Shaum Ramadhan Terasa Lazat
Setelah memanggil orang-orang beriman dengan yaa ayyuhalladziina aamanuu Allah swt menegaskan: Kutiba ’alaikumush shiyaam (diwajibkan atasmu berpuasa), apa hubungan puasa dengan iman?. Mengapa hanya orang beriman yang diwajibkan berpuasa? Apakah puasa Ramadhan merupakan bukti keimanan seseorang?
Pertama, Ketika seseorang beriman kepada Allah swt, seharusnya ia sedar bahawa Allah swt senantiasa bersama-Nya. Di dalam dirinya menggelora hakikat keagungan-Nya. Setiap disebut nama-Nya hatinya bergetar, penuh ketakutan. Dalam surat Al-Anfal ayat 2 Allah swt berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gementarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (kerananya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
Kerananya seluruh kegiatan sehariannya selalu dalam rangka mentaati-Nya. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang ia lakukan kecuali dengan petunjuk-Nya. Ia menjauh sama sekali dari apa saja yang disebut kemaksiatan. Baginya kemaksiatan seperti mengadu domba, mencari kesalahan orang lain, tidak menghormati orang lain, bersangka buruk, apatah lagi maksiat besar adalah bencana, yang tidak hanya menghancurkan harga dirinya melainkan juga menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan di muka bumi.
Kesedaran ini membuatnya sangat berhati-hati dalam bersikap, jangan sampai langkahnya terjerumus dalam kemaksiatan. Sehinggakan yang syubuhat (samar-samar) pun ia hindari, sebab dari yang syubuhat akan lahir daya tarik kepada yang haram. Puasa adalah ibadah menahan diri dari yang makruh dan haram. Dari sini nampak betapa hakikat puasa adalah sebagai benteng supaya pelakunya terhindar dari yang haram. Perhatikan betapa untuk menegakkan puasa, seseorang harus mempunyai iman. Kerana hanya iman yang jujur seseorang akan benar-benar merasakan lazatnya puasa. Tanpa kesedaran iman puasa akan menjadi beban. Di saat orang-orang berbahagia dengan puasa, ia merasa sempit hatinya dengan puasa.
Kedua, Ketika seseorang melakukan puasa, ia sedang berjuang menutup segala pintu yang selama ini syaitan selalu masuk darinya. Pintu nafsu makan ia tutup, di mana banyak orang mengambil yang haram hanya kerana nafsu makan. Pintu nafsu bermusuhan juga tutup, dimana selama ini banyak terjadi konflik saling menyakiti, saling menjatuhkan, saling menzalimi, bahkan saling memfitnah sesama anggota juga adalah kerana nafsu ini.
Lidahnya ia tahan dari perbuatan yang keji. Apabila ada yang mengajaknya bertengkar, ia menjawab: Maaf saya sedang berpuasa. Pintu nafsu seks pun ia tutup, di mana selama ini ramaqi orang terhumban dengan dosa-dosa kerana nafsu ini.
Perhatikan betapa puasa mencerminkan hakikat perlawanan yang dahsyat seorang hamba Allah swt terhadap syaitan. Di dalam dirinya menggelora semangat untuk tidak tunduk kepada syaitan, saat manapun dan di manapun ia berada. Ia sedar bahawa syaitan adalah musuhnya. Allah swt berfirman,
”Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), kerana sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Fathir:6)
Maka ketika Allah swt memanggil di awal ayat ini: yaa ayyuhalladziina aamanuu, itu maksudnya adalah orang-orang yang benar-benar jujur dalam imannya. Bukan orang-orang munafik yang pura-pura beriman. Sebab tidak mungkin seseorang yang tidak jujur dalam imannya mampu melaksanakan ibadah puasa dengan jujur. Dari sini nampak rahsia firman Allah swt dalam hadits Qudsi:
”Semua amal anak Adam itu untuk dirinya kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku akan memberikan langsung pahalanya.” (HR. Bukhari)
Perhatikan betapa puasa merupakan bukti kejujuran iman seseorang, sehingga Allah swt mengagungkannya, dan terlibat langsung untuk memberikan pahala kepada pelakunya.
No comments:
Post a Comment